Thursday, April 23, 2009

Strategy Myopia

Strategy Myopia
Oleh : Riandi

Jika diartikan secara harfiah ke Bahasa Indonesia maka strategy myopia dapat diartikan sebagai rabun jauh strategi. Hanya bisa melihat dekat. Mirip dengan kondisi mata yang minus (berkacamata minus), yaitu suatu kondisi di mana mata hanya dapat melihat jelas dalam jangkauan jarak baca (25 cm). Lebih dari jarak tersebut benda yang dilihat terlihat kabur. Strategy myopia biasanya terjadi di dunia bisnis, dan juga kerap kali terjadi di dunia politik. Terjadi karena terlalu fokus pada pesaing di depan dan samping yang berada dekat dalam jarak pandang sehingga melewatkan, mengabaikan pesaing yang terletak di luar jarak pandang. Kejadian ini seperti mengendarai kendaraan dengan melihat kaca spion bukan jalan di depan. Orientasinya lebih kepada masa lalu. Kalau jalan di depan mulus dan lurus mungkin selamat. Tapi kalau jalan di depan rusak atau tiba-tiba ada halangan atau tikungan pasti akan lebih banyak celakanya daripada selamat. Disini kaca spion dapat mewakili penggambaran tentang masa lalu. Jangan terpengaruh oleh mitos masa lalu untuk mengatasi persoalan masa kini. Demikian yang dikatakan oleh Harold Geneen, Presiden AT&T. Beliau telah meringkas dengan bijak untuk selalu berorientasi ke masa depan agar tidak mengalami strategy myopia.
Andy Groove, Chairman Intel, menulis Only Paranoid Survive. Menulis buku tersebut justru ketika Intel sedang berada di puncak jayanya ketika itu. Ada tiga hal yang dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan usaha Intel. Yang pertama, Beliau melihat salah satu trend global yang sedang terjadi adalah perubahan produk yang cepat. Konsumen akan cepat beralih kepada produk lain yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan nilai yang sesuai. Umur produk yang semakin singkat. Karena kemajuan teknologi ada barang-barang yang akan ditinggalkan pemakaiannya meskipun dulunya sangat laris dan populer. Tergantikan oleh barang-barang yang bisa saja benar-benar berbeda dari barang sebelumnya karena kebiasaan telah berubah. Kemudian yang kedua, ada orang-orang jagoan di perusahaan yang cepat puas diri. Bagaimana tidak, ketika itu Intel sedang berjaya sehingga formula kemenangan yang telah mengantarkan kejayaan Intel akan dianggap sebagai jimat suci yang tidak boleh diganggu gugat. Padahal dari sejarah kita akan tahu bahwa formula kemenangan, resep sukses hanya berlaku karena kondisi lingkungan tertentu. Bila lingkungan, situasi, kondisi berbeda maka formula kemenangan yang dulu unggul akan kehilangan relevansinya. Ketika disadari biasanya sudah terlambat, perusahaan sudah berada di ambang kehancuran. Hal lain yang dilihat oleh Andy Groove adalah kompetisi. Perusahaan lain yang bisa menghasilkan produk lebih baik dan lebih murah. Ini yang benar-benar merepotkan karena yang namanya teknologi itu memerlukan waktu yang lama serta modal yang besar untuk mengembangkannya. Sedangkan meniru produk relatif lebih cepat dan murah. Intel menghadapi peniruan pesaing terhadap produknya padahal Intel telah berinvestasi untuk membuat penemuan tersebut. Jika tidak terus-menerus berinovasi seperti yang kita lihat sekarang maka tentu saja sudah lama Intel terkubur menjadi sejarah. Intel Core2Duo dan Intel QuadCore tidak akan pernah tercipta.
Jagdish Sheth mendeskripsikan adanya tujuh penyakit yang menghancurkan perusahaan-perusahaan bagus. Pertama, the "cocoon" of denial. Orang menemukan, mengakui, menghitung, dan malah meninggalkannya. Kedua, the stigma of arrogance. Orang-orang arogan cenderung tidak mau belajar lagi. Untuk apa belajar lagi kalau keberhasilan sudah di genggaman? Kalau hari ini sudah berhasi besok pasti akan berhasil lagi, demikian pikir mereka. Pola pikir seperti ini menganggap belajar itu adalah hanya untuk anak-anak sekolahan. Setelah lulus tidak perlu belajar lagi. Jelas ini sangat keliru. Untuk terus menang dalam pertandingan bisnis dan kehidupan tak ada kata berhenti untuk belajar. Karena kalau berhenti belajar akibat yang pasti adalah kalah. Ketiga, comfort zone. Orang lebih senang berdiam diri bila sudah memasuki tahap mapan. Belajar menuntut perubahan. Perubahan pola pikir itu yang pasti. Terus berubah bukanlah hal yang nyaman untuk dilakukan apabila tidak terbiasa berubah. Keempat, masalah teritori (the territorial impulse). Orang merasa menguasai teritorinya sehingga orang lain tidak boleh masuk. Bantuan dari pihak luar dianggap sebagai tanda kelemahan. Padahal, menerima bantuan bukanlah tanda kelemahan. Justru orang besar di perusahaan besar bersedia menerima bantuan meskipun hanya sekedar saran atau kritikan. Mereka sadar bahwa di era informasi yang luar biasa perkembangannya ini kita tidak mungkin mampu menguasai semuanya sehingga perlu adanya pembagian tugas. Orang-orang yang memiliki kemampuan yang berbeda bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan bersama dengan cara meminimalkan kelemahan masing-masing.
Kelima, obsesi terhadap volume (the obsession of volume). Orang terobsesi memiliki sebanyak-banyaknya dan menguasai seluas-luasnya. Termasuk menguasai negara, pulau, dan dunia. "Jadi, larinya ke market share dan menjadi pelaku yang dominan di pasar. Padahal bukan pelaku dominan dari segi kekuasaan, tapi dari segi keuntungan yang akan menikmati kemenangan," katanya. Keenam, ketergantungan pada kompetensi yang sudah tidak cocok lagi dengan zaman (the curse of incumbency). Misalnya, dulu negara komunis mempunyai orang-orang yang tergantung pada cara berpikir komunis. Sekarang yang terjadi sudah serba paradoksal. Partainya komunis, tapi cara berpikir orang-orangnya kapitalis. Orang komunis saja sudah sadar kalau ideologi komunis tidak cocok lagi untuk bersaing di era global dan informasi. Kalau dulu ideologi komunis mungkin berhasil, kalau sekarang mungkin cuma jadi bahan tertawaan diam-diam. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan kemampuan-kemampuan kita di masa lalu. Ketujuh, ada kecenderungan orang melihat pasar secara sempit (the threat of myopia). Padahal pasar itu sedemikian luas sehingga strategi yang diperlukan juga kadangkala tidak baku pada suatu pasar tertentu yang belum tentu dapat diterapkan pada pasar lainnya.
Bila terkena strategy myopia maka biasanya ada dua yang terjadi. Pertama adalah kurang percaya diri sehingga tidak sadar akan kekuatan yang dimiliki, lawan terlihat sangat kuat sehingga terasa tidak mungkin dikalahkan. Jadinya putus asa. Atau sebaliknya yang kedua, arogan, terlalu percaya diri sehingga menjadi gagal mengenali kelemahannya. Semua lawan terlihat seolah-olah enteng sehingga menjadi lengah. Jelas tidak ada persiapan ketika saingan melesat secara tiba-tiba. Baik kurang percaya diri atau terlalu percaya diri, keduanya dapat berakibat sama fatalnya dalam era perubahan yang sedemikian cepat. Rhenald Kasali seorang pakar manajemen kita mengatakan bahwa konsep lama itu perlu, tapi tak mencukupi. Konsep lama adalah pelengkap bagi konsep baru dimana jelas sekali kalau konsep baru akan terus berkembang seiring dengan perubahan yang ada. Orang bijak berkata, bacalah tanda-tanda zaman bila ingin tetap hidup. Tanda-tanda jaman itu pada saat ini dapat dengan mudah dicari karena era informasi terutama internet telah mempermudah itu semua. Informasi menjadi mudah serta murah, tapi tidak dengan kemampuan mengelolanya. Orang atau perusahaan yang mempunyai kemampuan mengolah informasi sehingga dapat menghasilkan keputusan yang jitu akan memenangkan persaingan baik lokal maupun global. Dapat juga direnungkan strategi perang yang ditulis oleh Sun Tzu dalam bukunya yang berjudul Art of War. Semuanya ada 13 strategi. Namun bila diringkas ada tiga pokok. Yaitu, mengenal diri Anda dengan baik, mengenal musuh Anda, dan mengenal tempat di mana kita bertarung agar tidak terjebak dalam strategy myopia.

Riandi
Penulis adalah guru swasta mengajar di SMA PGRI Piasak, Selimbau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia
Hp. 081352471543

No comments:

Post a Comment