Monday, May 11, 2009

Geliat Ponsel China, Siapa yang Untung Siapa yang Buntung?

Ponsel China di awal kemunculannya tidak dipandang sebelah mata oleh
merek ternama seperti Nokia, LG, Samsung, Motorola, RIM, Apple, Sony
Ericcson dan lain-lain. Tidak dianggap sebagai ancaman. Bahkan
dianggap lelucon saja. Produk peniru. Mirip dengan kasus produk buatan
Jepang dulu. Kemudian, seiring dengan kemajuan teknologi, basis
produksi pabrik merek ternama yang sudah berada di China, SDM murah
dan berkualitas maka sudah bukan rahasia umum lagi bahwa 8 dari 10
ponsel dunia diproduksi di China. Merek ternama kebanyakan hanya
tinggal tempel merek saja. Jika sudah demikian pasti akan akan timbul
rasa percaya diri oleh manufaktur ponsel di China dan tentunya
terpikir untuk mencoba peruntungan dengan memproduksi ponsel sendiri
dengan merek sendiri atau bahkan menjual tanpa merek karena
teknologinya sudah mereka kuasai.
Hal tersebut dapat disaksikan sendiri melalui ponsel China yang masuk
pasar global secara umum atau masuk ke pasar Indonesia secara khusus.
Ada yang legal. Baik itu impor langsung dengan mereknya sekalian, atau
ditempeli merek lokal. Kemudian ada juga yang secara ilegal dimana
ponsel jenis ini disebut ponsel bandit (Shanzai). Karena istilah
shanzai itu sendiri berarti penjahat yang baik hati. Seperti Robin
Hood kalau dalam cerita Barat. Ini yang luar biasa karena hanya dengan
karyawan kurang dari 10 orang sudah dapat memproduksi ponsel.
Bandingkan dengan ponsel ternama yang setidaknya perlu ribuan
karyawan. Atau minimal ratusan karyawan.
Lawannya adalah merek ternama. Nokia, LG, Samsung, Motorola, RIM,
Apple, Sony Ericcson dan lain-lain. Bermain di kelas low-end (harga
murah teknologi sederhana), mid-end (harga sedang teknologi sedang),
dan high-end (harga tinggi teknologi tinggi) pun ada. Karena pemainnya
banyak sudah jelas akibatnya adalah ada yang tersingkir, bertahan,
atau terus maju. Tidak hanya produsen ponsel China itu sendiri, bahkan
produsen ponsel merek ternama pun mengalami kerugian di saat krisis
ekonomi 2009 ini. Sampai-sampai ada yang hampir bangkrut. Namanya
bisnis, itu adalah hal yang lumrah-lumrah saja.
Tetapi bagaimanapun juga, strategi keunggulan biaya tetap merupakan
salah satu strategi yang ampuh digunakan ketika situasi ekonomi sedang
krisis global. Daya beli lemah. Konsumen pikir-pikir untuk
membelanjakan uangnya. Jelas, konsumen ingin mencari barang
semurah-murahnya dengan nilai yang setinggi-tingginya.Kelebihan
strategi ini adalah yang pasti pilihan konsumen jadi lebih banyak.
Konsumen benar-benar dimanja. Tinggal memilih mana yang sesuai dengan
kebutuhan atau keinginan. Kemudian kelebihan lainnya adalah penetrasi
pasar relatif mudah. Karena harganya murah. Keraguan konsumen akan
mutu juga dapat ditepis. Dengan cara mencoba dulu. Konsumen akan
berpikir bahwa dengan harga murah bila ada kejadian apa-apa juga rugi
tidak terlalu banyak. Bila ternyata konsumen yang sudah mencoba
menemukan dan sudah membuktikan bahwa ponsel murah tersebut ternyata
tidak murahan maka akan terjadi promosi dari mulut ke mulut.
Keunggulan ponsel dipromosikan oleh konsumen yang puas. Jelas, inilah
sebenarnya promosi yang paling ampuh. Dan akhirnya konsumen menjadi
percaya sehingga sudah pasti akan terjadi pembelian berikutnya.
Kekurangan dari strategi ini juga pasti ada. Dapat keuntungan yang
hanya sedikit itu sudah jelas karena harga murah. Namun karena
targetnya adalah penetrasi pasar, membiasakan konsumen dengan produk
maka meskipun untung hanya sedikit tidak jadi persoalan. Hitung-hitung
promosi. Diharapkan bila konsumen puas maka akan terjadi efek viral
dimana konsumen yang puas ini akan mengajak konsumen lain untuk
membeli. Biar untung sedikit, tapi kalau volume penjualan besar maka
akhirnya bisa untung besar juga.
Yang namanya barang baru tentu saja masalah klasik yang timbul adalah
masalah after sales yang lemah. Ponsel termasuk barang elektronik yang
memerlukan berbagai suku cadang. Casing, baterai merupakan elemen
pokok dari ponsel yang menunjang masa pakai ponsel. Meskipun pemakaian
sudah hemat sekalipun, casing dan baterai ponsel tetap akan aus
dimakan usia. Belum lagi elemen-elemen lain dari ponsel yang bisa jadi
akan mengalami kerusakan. Jika suku cadang tersedia, tempat servis ada
tentu tidak jadi persoalan. Tapi kalau tidak tersedia tentu runyam
urusannya. Ponsel yang seharusnya bisa dipakai dalam jangka waktu yang
agak panjang malah jadi barang rongsokan karena ketiadaan suku cadang.
Akibatnya adalah mimpi buruk. Komentar buruk dari konsumen yang kecewa
yang pasti tersebar dari mulut ke mulut. Atau setidaknya konsumen yang
kecewa menjadi jera untuk membeli produk sejenis. Efeknya bisa kena
pada merek ponsel China yang benar-benar menjaga mutu. Kena pukul
rata.
Dari fenomena ponsel murah berkualitas dari China pada awalnya mungkin
tidak ada tindakan ketika penjualan ponsel ternama masih bagus. Pada
waktu ponsel merek ternama dipalsukan misalnya dengan memberikan nama
yang mirip-mirip, misalnya, Samsung menjadi Sumsung, atau Nokia
menjadi Nckia, baik pihak produsen ponsel ternama atau konsumen akan
senyum-senyum saja. Ada-ada saja akal orang-orang China tersebut pikir
mereka. Namun, akibat krisis ekonomi global dan penjualan ponsel
ternama mengalami penurunan maka ceritanya akan lain. Langkah secara
hukum pasti akan dilakukan. Misalnya dengan menekan pemerintah China
untuk menindak produk bajakan. Alasannya adalah pelanggaran hak cipta.
Meskipun sebenarnya ini kurang efektif. Karena bagi pemerintah
China, produk ponsel murah yang mampu bersaing adalah suatu kebanggaan
tersendiri. Semangat nasionalisme. Baik itu yang legal maupun yang
ilegal. Meskipun yang ilegal tidak memberikan hasil berupa pajak namun
setidaknya industri tersebut telah mampu memberikan lapangan pekerjaan
bagi banyak penduduk China. Setidaknya akan mampu menolong memacu
pertumbuhan ekonomi. Sehingga dapat dianggap bahwa langkah hukum ini
menjadi langkah putus asa. Karena, meskipun sudah berhasil menindak
ponsel murah bajakan, arah waktu yang telah terlanjur berjalan takkan
dapat diputar balik. Konsumen yang sudah terbiasa pada produk murah
berkualitas sudah terbentuk. Konsumen jadi semakin pintar dan
menuntut. Konsumen akan menuntut barang yang bermutu dengan harga
murah tidak sekedar merek terkenal.
Jadinya, daripada sibuk tuntut-menuntut secara hukum maka justru
langkah lebih terhormat yang dapat dilakukan oleh produsen ponsel
ternama adalah bagaimana menghasilkan produk berteknologi mid-end
bahkan high-end dengan harga yang lebih terjangkau. Jika harga produk
mid-end atau high-end tidak selisih jauh dengan harga produk low-end
dan produknya tersedia di pasar maka sudah jelas konsumen akan akan
lebih memilih produk mid-end atau high-end.
Dengan adanya fenomena ponsel China jelas menguntungkan konsumen.
Karena harga murah kualitas kadang tak kalah dari ponsel ternama.
Konsumen untung. Sedangkan produsen ponsel ternama yang terlanjur
terlena karena sudah lama menikmati keuntungan karena pasang harga
terlalu tinggi akan buntung. Produknya menjadi kurang diminati
konsumen karena konsumen merasa antara harga yang dipasang dengan
nilai yang diberikan tidak sebanding. Jadi untuk apa dibeli meskipun
itu merek terkenal. Sedangkan produk ponsel China sebagai pesaing
mampu menawarkan nilai lebih dengan harga yang jauh lebih murah.
Konsumen sudah semakin pintar, pilihan sudah semakin banyak. Produsen
harus nurut pada kemauan konsumen bila ingin mampu bersaing di saat
krisis global seperti sekarang ini. Saatnya introveksi. Kalau tidak
maka langkah yang perlu dilakukan adalah siap-siap gulung tikar.
Semoga saja tidak terjadi demikian.

Riandi ( ryandy2009.blogspot.com ) ( ryandy2008@gmail.com )
Penulis adalah guru swasta mengajar di SMA PGRI Piasak, Selimbau,
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia

No comments:

Post a Comment